Saturday, August 29, 2015

Crying Again

Aku coba sempatkan diri untuk mendengarkan lagu Crying Again dari Moon Myung Jin sambil duduk termenung sambil memikirkan apa yang udah terjadi hari ini dan kemaren. Meski aku gatau artinya apaan tapi pasti dalem banget. I can feel it. Berapa liter air mata yang sudah aku tumpahkan?
It's such a worst plus hardest plus unimagine day ever. Seandainya aku adalah selembar kertas, aku pasti sudah lecek, lusuh, dan sobek di sana sini. Tidak ada yang bisa dilakukan selembar kertas yang sudah habis di injak-injak kaki orang yang lalu lalang melewatinya. Ia terus terluka karena hentakan kaki dan gesekan sepatu mahal dengan tanah.
Aku bukan lagi cewek yang bisa tegar. Kalau selama ini aku selalu menahan rasa sakit hati yang ada, dan menumpahkannya tangisan tanpa suara. Kali ini tidak. Air mata keluar dari pelupuk mataku tiga kali dalam sehari. Sudah seperti minum obat bukan? Aku tak bisa menahan rasa sakit lagi.
Biarkan aku mengingatnya kembali.
Jumat, 28 Agustus 2015 pagi hari. Bahkan bel sekolah pun belum berdering untuk memulai pelajaran. Tapi aku sudah mengawali hariku dengan tangisan. Maksud hati mau berguru namun apa daya yang ku dapatkan hanyalah sebuah goresan luka yang membuat mataku sembab. Saat berguru, kami mengobrol. Di tengah obrolan, sebuah kalimat kekesalan terlontar. Kalimat itu begitu tajam menggores hatiku. Aku yang pelupa ataupun aku yang tidak menggunakan anugerah Allah berupa pendengaran dengan baik, hingga aku tak paham dengan maksud omongannya dan dia kesal karena ketololanku.
Aku kembali ke kelas untuk meletakkan buku dan menata hati yang sudah tergerus. Baru duduk sejenak, mejaku sudah basah karena air mataku. Aku malu kalau harus menangis di kelas, apalagi itu masih pagi. Aku lari ke kamar mandi. Di depan kaca aku menatap bayanganku sejenak. Aku menunduk sambil terus mengeluarkan air mata. Seseorang anak keluar dari bilik kamar mandi. Anak itu menghampiriku yang sudah terisak semenjak tadi. Aku menatapnya dari cermin. Tak banyak kata, aku langsung meminjam dadanya untuk melepaskan semua. Isakan tangisku semakin dalam. Anak itu tak bertanya apapun. Hanya elusan tangan untuk menenangkanku. Aku mengakhiri tangisanku dan kembali ke kelas. Setiap bertemu dengannya, aku tak memberikan senyuman maupun sapaan.

Istirahat kedua, ia menghampiriku yang sedari tadi mengurung diri di dalam kelas. Aku tak ingin melihat dunia yang terus tersenyum sementara diriku sedang dilanda kesedihan. Ia membawakan beberapa makanan ringan dan ada notes terselip. Ia minta maaf karena ucapannya tadi. Ia ingin semuanya kembali normal. Aku memaafkannya.

Pulang sekolah. Kami sempat makan siang bersama di kantin. Menyantap menu makan siang sambil bertanya ada acara apa sepulang sekolah ini. Kami ada rapat di organisasi yang berbeda. Ia pamit bergegas lebih dulu karena rapatnya sudah dimulai. Kami tetap melanjutkan percakapan dalam WhatsApp. Baru beberapa puluh menit, misscom. Karena kami berbicara dua hal jadi rancu. Maksud mau bales yang ini, malah juga nyambung ke topik satunya. Udah keburu reaktif marah marah soalnya ga nyambung. Berakhir tangisan lagi. Saat terjadi pertengkaran, akulah yang mengahirinya dengan tangisan. Siapapun yang salah. Padahal saat itu, aku sudah perjalanan ke tempat rapat. Sahabat-sahabatku lah yang menenangkanku.

Sore harinya, aku harus pulang cepat. Aku sudah membuat janji dengan kakakku untuk pergi sore hari. Tapi karena aku ada rapat. Aku pulang telat. Terlalu sore. Kondisi handphone ku yang sudah melemah baterainya dan sinyal pun enggan mengalir dalam handphone ku. Dalam kondisi seperti itu, dia terus menghubungiku. Ia khawatir jika aku tak segera kembali pulang, langit sudah mulai gelap karena keberatan menahan air di atas awan. Sepertinya air itu akan tumpah sebentar lagi.
Aku meninggalkan pesan di WhatsApp dan berharap nanti di perjalanan sinyal akan kembali berteman dengan handphone ku. Di tengah perjalanan, benar kataku. Hujan mengguyurku dan motorku. Aku memasang jas hujan dan kembali berkelana menuju rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung menyambungkan kabel pemberi nyawa ke handphoneku, sekalian mengecek sinyal. BELUM JUGA TERKIRIM. Berbagai dugaan berkecamuk dalam pikiranku. Waduh pasti dia nyariin banget, pasti marah soalnya aku gabales wa, pasti bingung aku ga ngasi kabar, dsb. Aku langsung menyambungkan dengan wifi. Dan benar, pesan pesannya berbondong-bondong masuk. Aku hanya sabar membacanya dan inign menjelaskan padanya apa yang terjadi.
Aku membalas pesannya satu persatu mengurut kejadian menjelaskan kepadanya. Aku memusatkan perhatianku pada layar hape, meskipun aku belum menanggalkan seragamku. Aku nggak mau ada misscom lagi. Ehh, datanglah kakakku "pulangnya sore banget sih?" "Jadi jalan nggak?" "Uda mandi belom sih?" "Cepet ganti sana lo kalo mau jalan" "Yauda jalan ntar malem aja kalo gitu". Aku hanya dianugerahi dua tangan wahai manusia manusia yang sedang berbicara denganku. Aku masih menjelaskan kejadian sore itu dan kakakku sewot banget sama aku yang pulang telat. Di marahi di pressing dari dua sisi. Penat. Aku lelah. Haruskah sore hari sepulang sekolah harus seperti ini?. Aku membanting pintu lemari dan bergegas menuju kamar mandi. Tangisanku pecah di kamar mandi. Itu tangisan pelampiasan beratnya hari itu. Dari pagi hingga sore perasaan gaenak menyelimuti dan tangisan mewarnai setiap kejadian. Tangisanku tak berhenti, terus menerus mengalir deras. Aku benar benar sial hari itu. Pagi sudah sembab, siang juga, sore apalagi. Di desak dari dua sisi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hari ini aku ada agenda untuk ke sekolah. Aku harus rapat dan mengerjakan tugas. Kejadian kemarin masih membuat canggung di antara kami. Aku berangkat dari rumah dengan keadaan sudah baikan dengannya. Di jalan sudah dekat dengan sekolah, aku melihat teman sekelasku berjalan sendirian. Aku minggir dan bertanya dari mana. Rupanya temanku telah berjalan jauh. Tak ada salahnya menawarkan bantuan. Kebetulan motorku juga sedang kosong. Aku digoncengnya karena dia laki-laki. Tak ada maksud apapun selain membantunya. Aku pun tak tega jika harus berjalan sejauh itu. Selagi di bonceng, aku mengecek handphone. Dia bertanya di WhatsApp aku sudah di mana. Aku membalas sudah di dekat sekolah. Ia bingung bagaimana bisa aku menjawab jika aku sedang menyetir. Aku menjelaskan bahwa aku dibonceng teman sekelasku yang tadi bertemu di jalan. DUARRR! Dia langsung badmood. Alasannya, ia sudah menungguku setengah jam namun aku malah boncengan sama laki-laki lain. Oh God! C'mon! I just help him! Padahal dia sendiri yang menyuruhku untuk nyetir santai karena dia masih mau mandi. Ya mana kutahu kalau da sudah menunggu setengah jam. Kan tadi pamitnya mau mandi. Intinya dia badmood aku bersama cowok lain. Sesampainya di sekolah, Aku sengaja tidak langsung menghampirinya meski ia sudah menunggu di lobby. Jujur saja aku kesal aku capai. Kenapa dia ga pernah ngerti keadaanku? Seandainya dia yang sedang berjalan jauh dan bertemu teman di ajak bareng naik motor, apakah kau menolaknya? EXTRA SABAR! Ku langkahkan kaki ke kamar sahabatku. Sembari mengabarinya aku sudah di sekolah. Ia meminta ku untuk menghampirinya. Aku menolaknya. Kita sedang panas seperti ini. Dia tetap memaksaku. Oke, aku turuti kemauannya. Aku sudah berdiri di sampingnya. Ia duduk terfokus dengan layar laptopnya. Aku bagaikan angin. Aku beranjak pergi, ia memntaku untuk mengambil kursi dan duduk di sebelahnya. Pertamanya aku menolaknya, karena paksaaan yang bertubi-tubi, aku menurutinya (lagi). Aku duduk. Tidak ada kata apapun keluar dari mulutnya dan mulutku. Kami terbungkam terhadang oleh dinding ego masing-masing. Beberapa menit terlampaui tanpa ada kata kata. Aku membulatkan tekad untuk beranjak mengajak sahabatku ke tempat rapat. Setelah aku meninggalkannya, ia memberiku pesan, Ia mengajakku kembali menemaninya di sebelahnya. BUAT APA JIKA AKU TIDAK DIANGGAP? Aku nggak mau menurutinya. Sakit hatiku padanya bertubi-tubi. Ia terus memaksaku. Aku mendatanginya dengan pertanyaan "Apa yang akan kau katakan padaku setelah ini, masih bisa kah mengucapkan kata manis seolah-olah tak terjadi apapun?" namun yang keluar adalah "jangan badmood" Oh my goodness. Dari kemaren tengkar nangis gitu jangan badmood? AKu menjelaskan kronologi aku di gonceng dengan temanku secara lisan. Itu pertama kalinya aku menjelaskan alasan yang menyulut pertengkaran secara langsung. Setelah penjabaran itu, no words out. SIAAALLL! Aku meninggalkannya. Aku tak kuat, sakit hati mendalam. Aku menghampiri sahabatku di tempat rapat. Aku menangis lagi. Sahabatku memelukku dengan pertanyaan "kamu kenapa kok nangis terus dari kemarin?" Hanya tangisannya yang menjawabnya. Ia memintaku menemuinya dan mau minta maaf. AH SUDAHLAH! tak perlu aku mengeluarkan tenaga untuk berjalan jika di sana hanya menoreh luka lagi. Aku gamauu! Ia menitip pesan kepada temanku yang mau rapat denganku. "Tika di panggil kapur tuh" dengan mata sembab dan pipi basah aku teriak "GAMAOOO"

Lelah sudah.

Monday, August 24, 2015

Jangan untuk kedua kalinya

Aku pernah. Iya, aku masih ingat suasana saat itu. Perilakunya berubah, cuek dan emosional. Bukit es membekukan jarak di antara kami.
Hari ini, aku merasa ada sesuatu yang sedikit banyak sama dengan waktu itu. Banyak salah paham. Respon cueknya. Perkataannya yang menyelipkan kejengkelannya selama ini. Badmood. Beda. ARGH dan penyakit semacamnya. Dibalik kecerewetannya, maksudnya benar, ia masih memikirkan keselamatanku. Aku senang dengan itu, namun kondisilah yang mengahancurkan.

Aku tak ingin suasana seperti ini. Penuh kedinginan dan keketusan. Sudah pernah aku merasakan hal serupa namun berakhir tidak menyenangkan. Aku begitu takut. Seakan-akan hal yang dulu akan kembali menghantamku. Aku benar-benar ingin semuanya kembali seperti dulu adanya.

Thursday, June 25, 2015

One Sweet Night

Kalo biasanya expectation is more than reality, but it doesn't work on us (read: me and him). For us, reality is soo much better than expectation.
Berawal dari sebuah ide untuk melakukan buka bersama hanya berdua. Beralaskan rasa rindu karena dua hari tidak bertemu, kami pun berencana akan melakukan buka bersama (buber). Dengan prinsip "jangan ke tempat yang terlalu mahal" kami pun memilih sebuah cafe yang sudah cukup lama hadir di Kota Malang, sebuah cafe dengan nama papan permainan anak-anak yang menggunakan uang palsu dalam permainannya.  
Pukul 16.00 dia menjemputku. Perasaanku amburadul. Sebelum berangkat, ia sempat mematikan ponselnya dan membiarkanku terus berceloteh bertanya jam berapa ia akan menjemputku. Kesal.
Di atas motor, aku berusaha menghilangkan kekesalanku. Aku tidak mau kesempatan buber berdua ini terlewatkan sia-sia hanya karena moodku jelek.
Kami belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Ia memelankan laju sepedanya dan aku menolehkan kepalaku ke kiri dan kanan jalan mencari lokasi tujuan kami. Ketemu! Kami segera parkir. 
Waah tempatnya bagus. Ia yang memilih tempat ini untuk kami. Kami memilih tempat duduk agak belakang untuk mencari view yang bagus. 
"Masi jam 4 ini, kita mau ngapain?" tanyanya. Aku hanya tersenyum sambil mengangkat pundakku.
Banyak percakapan tercipta di antara kami. Perawakannya yang santai dan pintar membuat kami tak pernah kehabisan bahan untuk dibicarakan. Tingkah laku minion yang kami putar di ponsel kami membuat acara ngbuburit kami semakin seru. 
Aku memanggil pelayan untuk memesan menu yang akan kami santap sewaktu buka puasa nanti. Tepat sebelum adzan, seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. Aku yang telah lama mendambakan sebuah Zuppa Soup akhirnya hadir juga di depan mataku. Ia yang hobi memotret, langsung mengabadikan objek di depan matanya, mukaku. Hahaha malu juga sih waktu ada kamera di depan muka bersiap mengambil potret mukaku. Waktu buka puasa telah tiba, kami segera menghabiskan takjil yang diberikan pelayan tadi. Beberapa lawakan masih terus ia berikan. Saatnya makan, ia bertanya mengenai lilin. 
"Nggak ada lilin a ini? Uda berdua gini harusnya ada lilinnya. Apa perlu aku bawa sendiri dari rumah?" ujarnya.
Aku mengerti, ia ingin sebuah candle light dinner bersamaku. Didukung oleh suasana cafe yang tidak terlalu ramai, suasana petang itu lumayan indah. Tak lama kemudian mukanya berubah berbinar, aku menengok ke belakang. Seorang pegawai menaruh lilin di setiap meja. Hatiku semakin meleleh saat pegawai itu menaruh lilin di meja kami. Candle light dinner was real! Senyumku tak bisa berhenti mengembang. Ia terus menatap mataku di temani sinar lilin. Begitu hangat. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar begitu manis di telingaku. Acara buka bersama malam itu sungguh sangat indah dan lebih dari apa yang kami bayangkan. Aku menyayanginya

Tuesday, June 23, 2015

I.M.Y.

Hari akan terasa sangat lambat jika tak ku habiskan hariku bersamanya. Sehari seperti setahun. Tetapi saat bersamanya, sehari seperti semenit. Singkat. Dia yang lihai mengubah kebosanan dalam diriku. Tatapannya yang teduh membuat hatiku tenang. Tangan ini tak sabar ingin melingkar di badannya. Jemari yang usil, berdehem, tingkahnya yang dewasa dan terkadang manja membuatku gemas.
Memutari Kota Malang hingga bosan dan habis tujuan. "Habis ini kemana?" kalimat wajib dan tak pernah absen. Mondar-mandir kesana kemari diwarnai tawa nan manja membuatku rindu padanya saat ini, nanti, dan kelak.
I miss you

Thursday, May 28, 2015

Gadis Rapuh

Gadis itu duduk dengan tatapan kosong. Pikirannya tidak lagi tertuju pada kertas-kertas ulangan harian pelajaran kesukaannya. Pikirannya telah melayang pergi.
"Aku tolol. Egois. Manja. Gapernah peka. Gapernah ngerti keadaan. Nakal. Semaunya sendiri. Moody. Moodbreaker semua orang. Nggak romantis. Gapernah patuh" umpatnya dalam hati.
Ia menggerutu karena sifanya sendiri.
Ia lelah menulis dan membaca kata 'maaf'. Kata maaf itu tercipta karena ulahnya sendiri. Karena dia yang tidak pernah mau membiarkan keadaan menuntunnya pergi. Ia ingin menciptakan jalan ceritanya sendiri. Jalan cerita yang ia buat dengan sifat kekanakan dan egois. Menutup telinga untuk mendengarkan sekelilingnya.
Sesekali ia membiarkan pikirannya tetap kosong dan terus melamun. Mulutnya terkunci rapat. Tak ada satu katapun terucap dari bibir merahnya yang sedari tadi ia gigit bagian bawahnya. Ia selalu melakukan itu jika dalam keadaan gelisah atau sedang banyak pikiran datang dan pergi kepadanya.
Tak seperti biasanya, tak setetes air matapun jatuh membasahi pipi tembemnya. Ia berusaha menguatkan hatinya. Semakin kuat ia berusaha, semakin ia menggigit bibirnya. Buat apa menangis jika memang dialah yang membuat semua ini begitu runyam. Ia sadar itu. Tak lama kemudian, begitu mudahnya air mata terjun dari pelupuk matanya. Hati gadis itu terlalu mudah rapuh. Sekuat apapun ia berusaha menahannya, air mata tetap akan turun membasahi pipinya. Menangis dalam diam.

Sunday, March 22, 2015

Keterbatasanku

Bayangan itu masih ada.
Masih terus berputar, tak sanggup aku untuk menghentikannya.
Rasa sakit di hati membuatku membayangkan seandainya dirimu pergi meninggalkanku untuk kembali padanya.
Setiap kali aku membaca namanya entah itu disengaja ataupun tidak, bayangan hitam melayang layang di otakku. Belum lagi saat aku membaca tulisannya di feeds BBM. Kalimat itu tidak mengandung subject, membuat pembacanya menerka nerka siapa object yang dimaksud. Tak jarang pikiran negatif akan namamu yang terselip dalam kalimat itu mulai meracuni otakku.
Aku hanyalah penghuni tempat itu untuk sementara. Aku tak tau pasti apa yang kamu perbuat pada malam hari atau sore hari. Aku percaya apa yang kamu katakan padaku. Aku percaya itu. Tapi, jujur aku masih terpengaruh dengan omongan orang lain. Termasuk dia. Dia bisa bertemu dirimu kapanpun itu. Kalian penghuni tetap disitu. Sangat mudah untuk bisa bertemu, walaupun tak ada niat untuk bertemu. Aku tau kamu akan mengikuti lomba tradisional itu, aku senang mendengarnya. Tapi, kenapa harus ada dia jugaaaaaaa disitu? shittyfunk *astaghfirullah*
Lama aku memendam pertanyaan "apakah dia juga ikut didalamnya? kurasa dia suka hal tradisional seperti itu, dia berpotensi" Hanya saja, lidahku kelu untuk bertanya hal itu. Ku kubur pertayaan bodoh yang tak seharusnya nangkring di pikiranku itu.
Sekarang terjawablah sudah. Tanpa harus aku bertanya kepada siapapun. Ya, kalian bersama, berjuang bersama, berlatih bersama, Aaaaarrrghhh kenapa keadaan selalu 'adil'? Terlalu adil untuk bisa dikatakan adil. Jahaaaaaaaaaaaatttt!
Please. Please keep it dear. I have no idea anymore. Aku selalu kalah oleh waktu dan keadaan *tear*

Friday, March 20, 2015

Mr. Chocolate

Kulirik angka di jam tangan hitamku, tanggal 17 Maret. Sejenak kulayangkan ingatanku untuk membantuku mengingat momen apa yang terjadi pada tanggal 17 bulan-bulan sebelumnya. No memories. Aku kembali menatap benda yang ada di hadapanku ini. Sebuah pesan tertempel dengan rapi pada benda itu. Isi pesan itu singkat.
"Love you so much" kalimat itu diakhiri dengan sebuah hati sebagai pengganti fungsi titik dalam sebuah kalimat. Di ujung surat itu tertulis nama samaran pengirimnya, Dear.
Sebungkus coklat dengan sebuah kalimat yang memiliki pesan mendalam dan dikirim oleh sosok yang mengaku bernama Dear itu membuatku terpanah tak berkedip. 
Aku harus berterimakasih kepada Mr. Chocolate yang sangat misterius ini. Tapi, berani-beraninya ia menaruh sesuatu di dalam tasku. Itu artinya, ia telah membuka isi tasku. Sekaligus, membuka pintu hatiku untuknya karena perlakuannya yang sangat romantis. Tak sadar, akupun mengucapkan "I love you too, Mr. Chocolate" dengan sangat lirih sehingga yang dapat mendengarnya hanyalah diriku sendiri. 
Beberapa pasang mata memperhatikanku dengan mata berbinar, senyum mengembang, dan terdengar samar mereka cekikikan melihatku yang hanya bisa berdiam diri membiarkan angin menyapu wajahku. Kurasa mereka tau siapa pelakunya.